Mari Kita Ubah Fenomena Yang Beredar di Masyarakat: Membaca Bukanlah Hobi! Tapi Sebuah Kebiasaan
Ahir - ahir ini saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh seorang jurnalis ternama bernama Elizabeth Pisani, yang berjudul "Apparently, 42% of young Indonesians are good for nothing". Membaca artikel tersebut membuat saya merasa sedih dan miris.
Dalam artikel tersebut Pisani menulis tentang siswa siswi Indonesia yang menuai hasil yang sangat buruk untuk tes PISA. Yakni tes mengenai matematika, sains dan kemampuan membaca yang diselenggarakan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) untuk siswa siswi berumur 15 tahun. Tentu saja PISA tes di Indonesia dtelah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Yang saya soroti dalam tes tersebut adalah kemampuan membaca siswa siswi Indonesia yang memilukan. Hasil dari PISA tes tahun 2015, 55% siswa siswi Indonesia tidak bisa mengenali gagasan utama dalam artikel, tidak bisa mengenali hubungan dalam artikel, ataupun tidak bisa membaca inti, makna dan konteks dalam artikel. Dengan kata lain, lebih dari setengah siswa siswi di Indonesia tidak buta huruf, namun tidak bisa membaca dengan baik, yakni tidak bisa mengerti arti dari sebuah artikel.
Yang lebih memilukan lagi, menurut saya fenomena ini tidak hanya terjadi pada siswa siswi Indonesia, tapi orang indonesia pada umumnya. Sebagai contoh, kita bisa melihat akun media sosial, sebutlah instagram, seorang influencer atau seseorang yang berjualan secara online. Bila kita membaca komentar komentar yang tertulis, banyak sekali akan kita dapatkan pertanyaan atau hujatan konyol. Misalnya, dalam deskripsi telah dituliskan harga, namun cukup banyak orang yang bertanya harga suatu produk tersebut (padahal telah dituliskan dengan jelas oleh si penjual).
Ataupun di suatu situs belanja online, saya pernah mendapati orang yang menjual sarung sebuah ponsel dan pada deskripsinya si penjual menuliskan dengan jelas bahwa yang ia jual adalah sarung ponsel, tapi ada beberapa hujatan di komentar yang menulis "kenapa barang yang datang setelah saya bayar hanya sarung ponsel, mana ponselnya?!".
Dari fenomena tersebut kita bisa mengetahui bahwa orang indonesia memang banyak yang tidak buta huruf tapi tidak bisa membaca dengan baik.
Asumsi saya orang yang aktif di media sosial atau pembelanja online adalah generasi muda. Generasi muda adalah harapan dan masa depan sebuah negara, apa jadinya jika mereka tidak bisa membaca dengan baik? Apa yang salah? Bagaimana cara memperbaiki kondisi tersebut?
Menurut saya salah satunya masalahnya adalah kalimat populer di Indonesia yang berbunyi "hobi saya membaca". Jika kita menanyakan hobi kepada orang Indonesia, tidak jarang yang menjawab "membaca". Hobi itu sendiri biasanya merupakan suatu aktifitas yang dilakukan pada waktu senggang. Dari hal ini kita juga bisa melihat bertapa jarangnya orang Indonesia membaca, karena membaca hanyalah aktifitas yang dilakukan sebagai hobi di waktu senggang.
Sementara di negara - negara maju, membaca adalah sebuah kebiasaan. Yakni aktifitas yang dilakukan bukan hanya dalam waktu senggang, tetapi memang sengaja disempatkan. Membaca merupakan kebiasaan yang dilakukan di negara maju sejak masa kanak kanak, yakni sejak SD dan SMP. Sehingga, kebiasaan membaca terpupuk dengan baik.
Menurut laporan survey yang dilakukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jepang tahun 2009, siswa siswi yang terbiasa membaca memiliki kemampuan akademis yang lebih tinggi dibanding yang kurang terbiasa membaca. Hal itu bisa dipahami karena menurut beberapa laporan lainya, banyak sekali keuntungan yang bisa didapat jika kita membiasakan diri kita untuk membaca. Diantaranya, dengan membaca kita dapat belajar untuk berkonsentrasi lebih baik, dapat mempelajari kosa kata yang baru, dapat menjadi lebih kreatif karena bisa berimajinasi lebih luas, dapat belajar berfikir secara logis, mendapatkan ide baru, serta tentunya kita dapat mengetahui sesuatu secara lebih mendalam dengan membaca suatu artikel.
Dukungan pemerintah merupakan hal yang penting untuk perkembangan
kebiasaan membaca sejak kecil. Salah satu contoh yang bisa ditiru misalnya program
"membaca setiap pagi" yang dicanangkan pemerintah Jepang untuk siswa siswi SD
dan SMP. Hal ini dicanangkan pemerintah Jepang karena mereka sadar bahwa membaca dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak kecil, yang notabene adalah masadepan negara Jepang itu sendiri.
Membaca juga merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh orang sukses. Sebagai contoh, Bill Gates, pendiri Microsoft, yang notabene adalah seorang yang sangat sibuk terbiasa membaca 40 sampai 50 buku dalam setahun. Atau Mark Zuckerberg, seorang pendiri dan CEO Facebook yang membaca sebuah buku setiap dua minggu, atau sekitar 26 buku dalam setahun. Dan masih banyak contoh lainya yang bisa dituliskan, namun saya rasa contoh kedua orang diatas sudah cukup mewakili apa yang ingin saya utarakan.
Tentunya akan sangat baik jika kita merubah pola fikir dari "membaca adalah hobi" ke "membaca adalah kebiasaan". Mari membiasakan diri kita untuk membaca dari sekarang, dan mari kita ajak orang di sekeliling kita membiasakan diri untuk membaca.
Ramadhona Saville, PhD
TKI di Jepang